Lalulintaskriminalitas.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati angkat bicara terkait kerisauan publik terhadap posisi utang luar negeri lndonesia yang mencapai Rp4.034,8 triliun.
Sri Mulyani melalui Kabiro dan Layanan Informasi Kemenkeu memberikan 11 poin penjelasan terkait posisi utang saat ini. Berikut penjelasannya:
Pertama, perhatian politisi dan beberapa ekonom mengenai kondisi utang beberapa bulan terakhir sungguh luar biasa. Dikatakan luar biasa dikarenakan isu ini dibuat dan diperdebatkan seolah-olah Indonesia sudah dalam kondisi krisis utang sehingga masyarakat melalui media sosial juga ikut terpengaruh dan sibuk membicarakannya. Perhatian elit politik, ekonom dan masyarakat terhadap utang tentu sangat berguna bagi Menteri Keuangan selaku Pengelola Keuangan Negara untuk terus menjaga kewaspadaan, agar apa yang dikhawatirkan yaitu terjadinya krisis utang tidak menjadi kenyataan.
"Namun kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif. Kecuali kalau memang tujuan mereka yang selalu menyoroti masalah utang adalah untuk membuat masyarakat resah, ketakutan dan menjadi panik, serta untuk kepentingan politik tertentu. Upaya politik destruktif seperti ini sungguh tidak sesuai dengan semangat demokrasi yang baik dan membangun," tutur dia dalam siaran persnya, Jumat, 23 Maret 2018.
Kedua, harus mendudukkan masalah utang dalam konteks seluruh kebijakan ekonomi dan keuangan negara. Karena utang adalah salah satu instrumen kebijakan dalam pengelolaan keuangan negara dan perekonomian. Utang bukan merupakan tujuan dan bukan pula satu-satunya instrumen kebijakan dalam mengelola perekonomian. Dalam konteks keuangan negara dan neraca keuangan Pemerintah, banyak komponen lain selain utang yang harus juga diperhatikan. "Dengan demikian kita melihat masalah dengan lengkap dan proporsional."
Misalnya lanjut dia, sisi aset yang merupakan akumulasi hasil dari hasil belanja Pemerintah pada masa-masa sebelumnya. Nilai aset 2016 (audit BPK) adalah sebesar Rp5.456,88 triliun. Nilai ini masih belum termasuk nilai hasil revaluasi yang saat ini masih dalam proses pelaksanaan untuk menunjukkan nilai aktual dari berbagai aset negara mulai dari tanah, gedung, jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit dan lainnya. Hasil revaluasi aset 2017 terhadap sekitar 40 persen aset negara menunjukkan bahwa nilai aktual aset negara telah meningkat sangat signifikan sebesar 239 persen dari Rp781 triliun menjadi Rp2.648 triliun, atau kenaikan sebesar Rp1.867 triliun. Tentu nilai ini masih akan diaudit oleh BPK untuk tahun laporan 2017.
"Kenaikan kekayaan negara tersebut harus dilihat sebagai pelengkap dalam melihat masalah utang, karena kekayaan negara merupakan pemupukan aset setiap tahun termasuk yang berasal dari utang," jelasnya.
Ketiga, menurut Sri pihak yang membandingkan jumlah nominal utang dengan belanja modal atau bahkan dengan belanja infrastruktur juga kurang memahami dua hal. Pertama, belanja modal tidak seluruhnya berada di Kementerian/Lembaga Pemerintah Pusat, namun juga dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Dana transfer ke daerah yang meningkat sangat besar, dari Rp573,7 triliun pada 2015 menjadi Rp766,2 triliun pada 2018, sebagian yaitu sebesar 25 persen diharuskan merupakan belanja modal, meski belum semua Pemerintah Daerah mematuhinya.
Sementara, dalam kategori belanja infrastruktur, tidak seluruhnya merupakan belanja modal, karena untuk dapat membangun infrastruktur diperlukan institusi dan perencanaan yang dalam kategori belanja adalah masuk dalam belanja barang. Karena itu, pernyataan bahwa ‘tambahan utang disebut sebagai tidak produktif karena tidak diikuti jumlah belanja modal yang sama besarnya’ adalah kesimpulan yang salah.
"Ekonom yang baik sangat mengetahui bahwa kualitas institusi yang baik, efisien, dan bersih adalah jenis "soft infrastructure" yang sangat penting bagi kemajuan suatu perekonomian. Belanja institusi ini dimasukkan dalam kategori belanja barang dalam APBN kita," kata dia.
Kemudian keempat, selain melihat neraca, dalam melihat utang perlu juga melihat keseluruhan APBN dan keseluruhan perekonomian. Bila diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap Produk Domestik Bruto, defisit APBN dan posisi utang Pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara. Defisit APBN tahun 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi tiga persen PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja secara drastis hingga mencapai Rp167 triliun. Langkah tersebut telah menyebabkan sedikit perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Demikian juga di 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92 persen PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2.5 persen. Pada 2018 ini target defisit Pemerintah kembali menurun menjadi 2.19 persen PDB. Pada kurun 2005-2010, saat masa saya menjabat Menteri Keuangan sebelum ini, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47 persen ke 26 persen, suatu pencapaian yang sangat baik, dan APBN Indonesia menjadi semakin sehat, meski jumlah nominal utang tetap mengalami kenaikan.
Lalu kelima, tentang kekhawatiran mengenai posisi keseimbangan primer, Pemerintah dalam berbagai penjelasan dan siaran pers, telah menyatakan akan menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat dan sustainable. Buktinya, pada tahun 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, menurun pada 2016 menjadi Rp125,6 triliun, dan kembali menurun pada 2017 sebesar Rp121,5 triliun. Untuk 2018, Pemerintah menargetkan keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp87,3 triliun. Di 2019 dan ke depan kita akan terus menurunkan defisit keseimbangan primer untuk mencapai nol atau bahkan mencapai surplus.
Keenam, kebijakan utang dalam APBN juga ditujukan untuk membantu membangun pendalaman pasar keuangan dan obligasi di dalam negeri. Jadi utang tidak hanya sebagai alat menambal defisit belanja Pemerintah, namun juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia.
"Kita melihat jumlah investor ritel yang membeli Surat Berharga Negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkannya SBN ritel 2006, yaitu sebesar 16.561 investor ritel dalam negeri, dan mencapai 83.662 investor ritel pada 2016. Secara jumlah total pada 2018, investor ritel pemegang SBN telah mencapai 501.713," imbuhnya.
Bahkan investor individual ini ada yang berusia di bawah 25 tahun (sekitar tiga persen), hingga di atas 55 tahun. Ibu rumah tangga juga telah mengenal dan berinvestasi pada SBN yang mencapai sekitar 13-16 persen. Kita masih perlu mengembangkan terus pendalaman pasar dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembelian obligasi negara maupun korporasi. Pasar keuangan yang dalam dan tebal akan menjadi salah satu pilar menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Ini juga untuk menjawab mereka yang merasa khawatir dengan proporsi asing dalam pembelian obligasi (SBN) kita. Karena itu, Pemerintah terus melakukan diversifikasi instrumen utang, agar partisipasi masyarakat luas dapat terus ditingkatkan.
Ketujuh, bagi mereka yang menganjurkan agar Pemerintah berhati-hati dalam menggunakan instrumen utang, maka anjuran itu sudah sangat sejalan dengan yang dilakukan Pemerintah. Langkah pengelolaan APBN dan penyesuaian memang dilakukan secara bertahap dan hati-hati, agar perekonomian tidak mengalami kejutan (shock) dan mesin ekonomi menjadi melambat. Pilihan-pilihan kebijakan ini dievaluasi secara cermat oleh Pemerintah, karena ekonomi Indonesia harus dikelola dengan hati-hati dan seimbang, mengingat tujuan-tujuan yang hendak dicapai sangat beragam, antara lain pengurangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja, perbaikan program pendidikan dan kesehatan, membantu infrastruktur dasar, meningkatkan penelitian dan pengembangan, membangun alutsista, memperbaiki kesejahteraan prajurit, polisi, dan pensiunan.
"Selain itu, kita masih dihadapkan pada risiko ketidakpastian global akibat kebijakan perang dagang yang dilakukan Amerika Serikat dan kebaikan suku bunga oleh The Fed serta kondisi geopolitik dunia," tuturnya.
Delapan, setiap langkah penyesuaian untuk mencapai satu tujuan, selalu berakibat pada tujuan yang lain. Ini yang dikenal sebagai "trade-off". Namun Pemerintah terus melakukan penyesuaian untuk mencapai tujuan pembangunan dan terus menjaga APBN tetap sehat, kredibel dan berkelanjutan (sustainable). Langkah konsisten dan hati-hati dari Pemerintah ini telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. Hal ini dikonfirmasi oleh peringkat invetasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I).
Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya. Disiplin fiskal Pemerintah Indonesia ditunjukkan dengan kepatuhan terhadap besaran defisit dan rasio utang terhadap PDB. Beberapa negara yang juga memiliki legislasi untuk menjaga disiplin fiskal seperti Eropa Barat dan Brasil, telah beberapa tahun melanggar disiplin aturan mereka. Dengan demikian, perhatian dan keinginan berbagai partai politik dan ekonom agar Indonesia terus menjaga disiplin fiskal adalah positif dan baik bagi reputasi dan kredibilitas ekonomi Indonesia.
Pengelolaan APBN yang hati-hati dan baik menghasilkan perbaikan dalam bentuk menurunnya imbal hasil (yield) Surat Utang Negara berjangka 10 tahun dari 7,93 persen pada Desember 2016, menurun menjadi 6,63 persen pada pertengahan Maret 2018. Ini prestasi yang tidak mudah, karena pada saat yang sama justru Federal Reserve Amerika melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016, dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali pada 2017.
Sembilan, disiplin fiskal tidak berarti kita menjadi ketakutan dan panik atau bahkan menjadi alergi terhadap instrumen utang. Kita harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan. Utang bukan satu-satunya instrumen kebijakan. Ada instrumen lain yang sangat penting seperti pajak dan cukai serta penerimaan bukan pajak, instrumen belanja dan alokasinya, kebijakan perdagangan dan invetasi, kebijakan ketenagakerjaan, kebijakan pendidikan dan kesehatan, serta kebijakan desentralisasi dan transfer ke daerah.
Semua instrumen kebijakan tersebut sama pentingnya dalam pencapaian tujuan pembangunan, mempengaruhi kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan. Semua kebijakan ini juga harus sama-sama bekerja secara efektif dan keras untuk mencapai tujuan nasional. Karena itu, Pemerintah melakukan reformasi perpajakan dengan serius, karena Pemerintah sadar bahwa pajak merupakan tulang punggung negara.
Pemerintah juga serius dalam memperbaiki iklim investasi, agar investasi dan daya kompetisi ekonomi dan ekspor kita meningkat. Hasilnya skor kemudahan investasi kita sudah semakin baik dan Indonesia menjadi tempat investasi paling menarik di dunia. Kita tetap harus waspada dengan kecenderungan kebijakan perdagangan yang proteksionis dari Amerika Serikat yang dapat menciptakan perang dagang yang berbahaya. Juga kebaikan suku bunga di Amerika Serikat berpotensi menimbulkan volatilitas. Semua kondisi ini dipertimbangkan secara matang dan hati-hati agar perekonomian Indonesia tetap dapat bertahan tumbuh tinggi, kemiskinan menurun dan kesenjangan menurun dan kualitas sumber daya manusia dan infrastruktur kita makin membaik.
Sepuluh, banyak langkah-langkah tersebut, termasuk pembangunan infrastruktur dan perbaikan pendidikan dan kesehatan serta jaminan sosial, baru akan menuai hasil pada jangka menengah. Misalnya, perbaikan kurikulum pendidikan, baru akan terlihat saat anak-anak menyelesaikan proses pendidikan (12 tahun untuk SMA dan vokasi, serta 16 tahun untuk hasil pendidikan tinggi). Kritikan bahwa banyak yang dilakukan pemerintah tidak memberikan hasil memuaskan saat ini, jelas tidak mempertimbangkan mengenai berapa lama proses suatu kebijakan dan proses konstruksi infrastruktur baru akan menuai hasil.
"Pemerintah setuju dengan anjuran bahwa kita perlu meningkatkan efektivitas kebijakan, mempertajam berbagai pilihan dan prioritas kebijakan dan memperbaiki tata kelola serta proses perencanaan, serta terus memerangi korupsi agar setiap instrumen kebijakan dapat menghasilkan dampak positif yang nyata dan cukup cepat," kata dia.
Sebelas, menyoroti instrumen utang tanpa melihat konteks besar dan upaya arah kebijakan pemerintahan jelas memberikan kualitas analisis dan masukan yang tidak lengkap dan bahkan dapat menyesatkan. Kita juga tidak akan mampu melihat permasalahan dan potensi ekonomi Indonesia. Lebih buruk, kita dapat mengerdilkan pemikiran dan menakut-nakuti masyarakat untuk tujuan negatif bagi bangsa kita sendiri. Itu bukan niat terpuji tentunya.
"Sekali lagi, apa yang disampaikan oleh berbagai pihak yang peduli mengenai utang pada dasarnya telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah. Sebagai Menteri Keuangan, saya berterima kasih atas berbagai analisis, masukan dan bahkan kritikan yang bertujuan untuk menjaga kesehatan keuangan negara dan memperbaiki kebijakan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan sesuai cita-cita kemerdekaan kita. Mari kita bersama-sama menjaga keuangan negara secara konstruktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara berkeadilan. APBN uang kita semua," kata dia.
Sumber : Metronews.com